Konflik Raja Mataram dengan saudara dan beberapa tokoh ulama berujung panjang. Sultan Amangkurat I yang berkuasa di Mataram Islam konon pernah membalas dendam kepada pihak-pihak yang mendukung Pangeran Alit, saudara tirinya yang awalnya hendak dilantik jadi raja.
Hal itu yang disebut Sultan Amangkurat I pergolakan internal Mataram buat adiknya meninggal dunia. Pergolakan itu menang memberikan bekas luka di Sultan Amangkurat I, maka ketika ada kesempatan naik tahta ia langsung menghukum beberapa pihak yang terlibat.
Sultan Mataram itu acap kali mengelak tanggung jawab perbuatannya, atas tindakan - tindakan kekerasan yang dilakukan. Tapi sekali lagi ketika Sultan Mataram menunjukkan wajah marah dan terkejut, di hadapan para pejabat istana.
Konon Sultan Amangkurat I sejam lamanya tidak sepatah kata pun diucapkannya, dan ini membuat orang lebih merasa tercekam. Tidak seorang pun yang berani "mengangkat kepalanya, apalagi memandang wajah Sunan".
H.J. De Graaf pada bukunya "Disintegrasi Mataram : di Bawah Mangkurat I" Sultan Amangkurat I berkata kepada pamannya, Pangeran Purbaya, "para pemuka agama, yang seharusnya menjadi teladan bagi mereka semua dalam perbuatan-perbuatan kebajikan, mereka itulah penyebab kematian adiknya".
Setelah itu, ia menyuruh empat orang kepercayaannya menyeret ke depan beberapa orang yang tidak turut terbunuh, yang segera mengaku telah merencanakan untuk mengangkat Pangeran Alit sebagai raja. Seraya meledak amarahnya, Sunan menyuruh seret 7 atau 8 orang pembesar yang dicurigainya dan mereka dibunuh. Istri dan anak-anak mereka pun segera dibunuh.
Akhirnya ia masuk kembali ke keraton, meninggalkan semua pembesar yang sudah tua dan diangkat semasa pemerintahan ayahnya itu dalam suasana tercekam dan penuh kekhawatiran". Demikianlah dilaporkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Goens pada tahun 1656.
Tetapi pada tahun 1648 Van Goens, sebagaimana pada laporannya Gezantschapsreizen halaman 67, sudah melihat cara pemerintahannya yang aneh, yaitu "yang membunuh para pembesar yang sudah tua untuk digantikan oleh yang muda".
Masa-masa penuh pergolakan itu diselingi masa-masa yang lebih tenang. Setelah tiga tahun pertama yang mengganas menyusul sedikitnya lima tahun, memperlihatkan segi-segi raja yang lebih baik.
(Khafid Mardiyansyah)