Ilustrasi.
JAKARTA — Ancaman siber di Indonesia semakin kompleks dan memprihatinkan. Skema penipuan digital terus berkembang—mulai dari pencurian identitas, pembobolan akun, hingga penyalahgunaan teknologi seperti deepfake serta pemalsuan dokumen. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Indonesia Anti Scam Center (IASC), kerugian akibat penipuan online telah melampaui Rp2,6 triliun hingga Mei 2025.
Tantangan Kolaborasi Keamanan Digital
Melihat eskalasi tersebut, para pelaku industri teknologi informasi menegaskan perlunya pendekatan keamanan digital yang tidak lagi bersifat terpisah. Dibutuhkan kolaborasi lintas sektor untuk membangun ekosistem keamanan digital nasional yang terintegrasi dan responsif.
Pakar keamanan digital menyoroti bahwa pelaku siber kini bekerja secara terorganisasi dan menyerang titik-titik lemah di berbagai sistem. Oleh sebab itu, pertahanan kolektif berbasis kolaborasi dan interoperabilitas menjadi sangat penting demi melindungi setiap lapisan ekosistem digital, termasuk oleh para Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE).
“Ancaman hari ini tidak datang dari satu arah. Para pelaku bekerja secara terorganisasi, menyerang titik-titik lemah di berbagai sistem. Yang kita perlukan adalah pertahanan kolektif berbasis kolaborasi dan interoperabilitas,” ujar Marshall Pribadi, CEO Privy, salah satu PSrE yang telah berinduk ke Kementerian Komunikasi dan Digital RI.
Salah satu upaya konkret yang kini mulai diterapkan oleh lembaga jasa keuangan dan sektor terkait adalah penggunaan identitas digital terpercaya dan tanda tangan elektronik tersertifikasi. Teknologi ini memungkinkan verifikasi identitas serta autentikasi dokumen secara cepat dan akurat, tanpa bergantung pada proses manual yang rawan disalahgunakan.
Namun, agar teknologi ini berjalan efektif, ekosistem digital antarinstitusi perlu saling terhubung, sehingga pertukaran sinyal risiko secara real-time antar lembaga sangat penting untuk diterapkan.