Para petani hidroponik di Sampit bukan sekadar bertanam sayur. Mereka sedang menanam masa depan yang hijau, efisien, ramah lingkungan, dan berbasis teknologi. Di balik itu, ada peran listrik yang tak hanya menyalakan lampu, tetapi juga menghidupkan harapan.
Di tengah hiruk pikuk Kota Sampit, terdapat oase hijau yang tak hanya menyejukkan mata, tetapi juga menumbuhkan harapan: kebun hidroponik milik Nurcahyono, Jalan Setia Kawan. Dengan 8.000 lubang tanam yang dipenuhi pakcoy, selada, tomat, seledri, dan daun bawang, pria 39 tahun ini membuktikan bahwa bertani tidak harus bergantung pada tanah subur, apalagi lahan luas.
Di lahan miliknya sendiri yang berukuran 400 meter persegi, dia membangun 16 instalasi hidroponik. Masing masing instalasi dilengkapi dengan pompa air berkekuatan 25 watt yang hidup sepanjang waktu. Dengan biaya produksi yang dikeluarkan sekitar Rp 4 juta, Nurcahyono kini bisa meraup omzet hingga Rp 20 juta per bulan dari kebun hidroponiknya.
”Biaya produksi itu meliputi bibit, media tanam, pupuk, listrik, air PDAM, biaya penyusutan instalasi, dan lain-lain. Kurang lebih Rp 4 juta untuk 8000 lubang tanam,” ujar Nurcahyono, Senin 20 Oktober 2025.
Sistem hidroponik yang dipakainya adalah NFT (nutrient film technique). Dengan cara ini, pertumbuhan lebih cepat. Kelemahannya, tidak boleh ada pemadaman listrik, karena aliran air pupuk harus terus bergerak. ”Untungnya, pasokan listrik di Sampit stabil,” ujar Nurcahyono.
Menurutnya, bertani secara hidroponik jauh lebih ringan dan menyenangkan. Gawean terberat cuma menyemai dan memindahkan bibit. Tidak perlu menyiram dan memupuk secara manual, karena sudah dikerjakan oleh pompa air.
Lelaki yang juga anggota Polri ini tak berjalan sendiri. Dia bekerjasama dengan para petani hidroponik lainnya untuk lebih berkembang dan menikmati peningkatan kesejahteraan. Sinergi dalam hal pemasaran antarpetani hidroponik membuat pasokan kepada pelanggan tetap terjaga secara kontinyu.
Kisah Nurcahyono bukan satu-satunya. Di Jalan Barito Kota Sampit, ada Mansyah yang juga membangun instalasi dengan 6.000 titik tanam dan mengandalkan 12 pompa berkekuatan 25 watt. Omsetnya mencapai Rp 15 juta per bulan dengan biaya produksi sekitar Rp 3,5 juta.
“Selama listrik menyala, sistem hidroponik tetap berjalan otomatis,” kata Mansyah yang kini sudah lima tahun menekuni hidroponik.
Hasil yang menggiurkan dari pertanian membuat Masnyah meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai sopir truk lintasprovinsi. ”Dulu saya kerja sebagai sopir truk. Hidup di jalan setiap hari, keluarga ditinggal terus. Akhirnya dapat ide usaha dari kawan-kawan untuk memulai hidroponik. Hasilnya lumayan, dan tiap hari bisa kumpul keluarga,” ujarnya.
Sementara itu, Suryaningsih, memiliki kebun hidroponik berkapasitas 1.500 titik tanam. Ibu rumah tangga ini menanam beragam sayuran di halaman belakang rumahnya, Dengan omzet bulanan sekitar Rp 4 juta, ia hanya mengeluarkan biaya produksi sekitar Rp 1 juta. “Khusus biaya listrik cuma habis kurang dari Rp 100 ribu. Jauh lebih hemat dibanding pertanian konvensional,” ujarnya.
Kini, lebih dari 30 pegiat hidroponik tergabung dalam Komunitas Petani Hidroponik Sampit (PHS). Kapasitas produksi mereka sekitar 60.000 titik tanam dengan hasil panen kurang lebih 7,5 ton sayuran per bulan. Mereka menyuplai kebutuhan sayur ke restoran, hotel, warung sembako, hingga supermarket.
“Di musim hujan saat petani konvensional gagal panen, petani hidroponik tetap bisa panen. Kita jadi penyangga pasokan sayur lokal,” kata Amiruddin, Pendiri Komunitas Petani Hidroponik Sampit.
Menurutnya, faktor utama keberhasilan dalam pertanian hidroponik adalah listrik. Energi listrik kini menjadi salah satu pilar utama yang mengubah wajah pertanian modern. Jika dulu pertanian identik dengan cara tradisional yang mengandalkan tenaga manusia dan alam semata, kini listrik menghadirkan efisiensi, ketepatan, dan inovasi dalam setiap tahap produksi pangan.
”Pertanian masa kini tidak lagi sekadar mengolah tanah, tetapi juga mengelola teknologi,” ujar Amiruddin.
Salah satu contoh nyata adalah pertanian hidroponik. Sistem ini memanfaatkan energi listrik untuk mengatur pompa air, pencahayaan buatan (lampu LED grow light), hingga sensor kelembapan dan nutrisi. Dengan bantuan listrik, tanaman dapat tumbuh optimal tanpa perlu lahan luas. Inovasi ini menjawab tantangan keterbatasan lahan di daerah perkotaan dan menjadi magnet bagi generasi muda yang tertarik pada konsep pertanian cerdas dan berkelanjutan.
Selain meningkatkan efisiensi, listrik juga membuka peluang ekonomi baru bagi rakyat. Petani yang mengadopsi teknologi berbasis listrik mampu menghasilkan panen lebih cepat, berkualitas tinggi, dan bernilai jual lebih baik. Di sisi lain, muncul lapangan kerja baru di bidang teknologi pertania, mulai dari teknisi sistem hidroponik, hingga penyedia alat pertanian.
”Dengan kata lain, listrik bukan sekadar sumber energi, tetapi juga penggerak transformasi sosial dan ekonomi. Melalui pemanfaatan listrik secara kreatif dan berkelanjutan, pertanian Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan,” ujar Amiruddin.
Pertanian dengan sistem hidroponik juga menarik minat generasi muda. Diantaranya adalah Bayu, Monika Nuraini, dan Salwa. Dalam satu bulan terakhir, tiga siswa kelas 3 SMKN 4 Sampit ini setiap hari datang ke kebun Nurcahyono untuk belajar praktik hidroponik.
“Saya belajar menyemai, pindah tanam, merawat, sampai memasarkan hasil panen. Setelah lulus, saya akan buka kebun sendiri,” ujar Bayu penuh semangat.
Bayu mengaku tertarik dengan usaha hidroponik karena dapat dilakukan di perkotaan, sehingga cocok untuk gaya hidup modern yang tidak bergantung pada lahan luas. Proses penanaman tanpa tanah membuat kegiatan bertani menjadi lebih bersih, menarik secara visual, dan mudah dipadukan dengan konsep urban farming. Selain itu, tanaman hidroponik umumnya tumbuh lebih cepat dan kualitasnya lebih mudah dikontrol karena nutrisi diatur secara presisi.
”Sistem hidroponik menggunakan air lebih sedikit dibandingkan sistem konvensional, sehingga lebih hemat sumber daya,” ujar Bayu.
Hal senada disampaikan Salwa. Dia siap menjadi petani muda yang modern. Bahkan, ayahnya siap memberikan modal untuk mewujudkan kebun hidroponik impiannya.
”Saya tertarik di pertanian karena isu pangan merupakan tantangan global yang tidak akan pernah berakhir. Selama ada kehidupan, kebutuhan pangan akan terus meningkat seiring pertambahan penduduk dunia. Dengan semakin majunya teknologi, pertanian masa depan akan bergantung pada kreativitas dan inovasi generasi muda,” ujarnya.
Sementara itu General Manager PLN Unit Induk Distribusi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (UID Kalselteng) Iwan Soelistijono mengatakan, kehadiran listrik telah menjadi bagian penting dari perjalanan masyarakat dalam membangun kehidupan yang lebih baik.
“PLN ingin memastikan listrik tidak hanya hadir untuk menerangi, tapi juga memberi manfaat nyata bagi tumbuhnya ekonomi rakyat. Kami terus berupaya menghadirkan energi yang andal, terjangkau, dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat,” jelas Iwan.
Memasuki usia ke-80, PLN terus memperkuat komitmen untuk menghadirkan layanan terbaik dan memperluas akses energi ke seluruh pelosok negeri. Listrik kini menjadi penopang berbagai sektor kehidupan, dari pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi kerakyatan. Delapan puluh tahun membersamai negeri, PLN terus berupaya menyalakan semangat, harapan, dan kesejahteraan bagi Indonesia. (yit)
















































