Ilustrasi
JAKARTA - Kerajaan Mataram Islam dan Surabaya konon memiliki hubungan erat berkat pernikahan politis putra mahkotanya. Sultan Agung penguasa Kesultanan Mataram Islam memang sempat menikahkan putra mahkotanya dengan seorang putri Pangeran Pekik.
Konon semasa masih muda putra mahkota Kerajaan Mataram dididik oleh Tumenggung Mataram yang tua, yang sudah dikenal oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Goens. Tumenggung ini pasti bukanlah Tumenggung Danupaya, guru Pangeran Alit, sekalipun dari catatan sejarah Van Goens menyebutnya guru mereka berdua.
Mungkin karena ia juga menjadi Tumenggung Mataram antara 1629 dan 1637. Selain itu, tawanan-tawanan Belanda yang mau atau harus mengabdi pada putra mahkota, mungkin juga mempunyai pengaruh pada anak muda itu.
Dikutip dari buku "Disintegrasi Mataram : Di bawah Mangkurat I" dari tulisan H.J. De Graaf, sang putra mahkota Mataram itu konon dididik delama kurang lebih 10 tahun sejak usai 5 sampai 15 tahun. Beberapa pendidikan karakter dan peperangan konondiberikan kepada putra mahkota muda kala itu.
Setelah ia dewasa, pada tahun 1643 Sultan Agung mengawinkan putra mahkota dengan seorang putri Pangeran Pekik, putra penguasa Surabaya yang berhasil ditaklukkan oleh Mataram. Konon ini mungkin sekali bukan anak perkawinannya dengan adik perempuan Sultan Agung, Ratu Pandansari. Dengan cara demikian terjadilah ikatan antara Kerajaan Mataram dan Kerajaan Surabaya.
Anak pertama dari perkawinan ini meninggal dalam usia muda, anak yang kedua kemudian menjadi Sunan Mangkurat II. Empat puluh hari setelah melahirkan anak itu, ibunya meninggal.
Pada tahun 1637, putra mahkota menjadi pusat suatu komplotan intrik Istana yang gawat. Tumenggung Danupaya dan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang pada tahun 1629 turut menyerang Belanda di Batavia, terlibat dalam komplotan itu.