Kisah Apel, Pemuda, serta Wanita Buta dan Tuli (Ilustrasi/Freepik)
JAKARTA - Kisah mengenai seorang pemuda, apel, serta wanita yang tuli, buta, lumpuh, bisu, dan lumpuh menarik disimak. Kisah tersebut mengandung banyak pesan yang dapat dipetik.
Dikisahkan pada suatu hari, seorang pemuda sederhana bernama Tsabit sedang berjalan di tepi sungai, melansir laman NU, Selasa (2/9/2025). Perutnya lapar. Sementara ia tidak memiliki bekal apa pun untuk dimakan.
Ketika sedang berwudhu di tepi sungai tersebut, tanpa sengaja matanya tertuju pada sebuah apel yang hanyut terbaya aliran sungai. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil apel itu, membasuhnya sebentar, lalu memakannya dengan penuh syukur.
Namun, setelah Tsabit menghabiskan separuh dari apel tersebut, hatinya bergetar. Ia tersadar apel itu bukanlah miliknya. Karena itu, ia bertekad mencari pemilik apel tersebut dan meminta kerelaan darinya.
Ia menelusuri aliran sungai hingga akhirnya menemukan sebuah kebun apel yang tampak luas dan terawat. Dari situlah ia menduga apel yang hanyut itu berasal kebun tersebut. Tsabit pun memberanikan diri mengetuk pintu kebun, dan bertanya kepada seseorang yang ada di sana.
“Tuan, tadi saya menemukan sebutir apel hanyut di sungai. Karena lapar, saya memakannya tanpa izin. Kini saya datang memohon kerelaan Tuan agar memaafkan kelalaian saya itu,” katanya.
Lelaki itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Saya hanyalah penjaga. Saya tidak punya wewenang apapun disini. Temuilah pemiliknya, ia ada di daerah fulan.”
Mendengar penuturan dari penjaga kebun tersebut, Tsabit bergegas menuju lokasi rumah pemilik kebun. Rumahnya cukup jauh dari kebun apel yang tadi.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Tsabit akhirnya sampai di ruham si pemilik kebun. Ia pun menjelaskan maksud dan tujuannya untuk meminta kerelaan atas buah apel yang sudah terlanjur dimakan.
Pemilik kebun menatap pemuda itu dengan heran. Dalam hati ia bergumam.
“Berapa banyak orang yang memakan sesuatu tanpa peduli halal atau haram, tetapi anak muda ini justru datang jauh-jauh hanya untuk meminta keikhlasanku atas sebuah apel yang sudah tidak berharga.”
Pemilik kebun itu kagum dengan kesalehan dan keimanan Tsabit. Akhirnya, ia berniat menguji Tsabit sejauh mana ia teguh dengan sikap terpujinya tersebut.
Untuk melihat sejauh mana keteguhan hati Tsabit, ia tidak langsung mengikhlaskan. Ia justru berkata,
“Aku tidak akan menghalalkan apel itu, kecuali dengan satu syarat.”