Ilustrasi.
JAKARTA - Perusahaan teknologi raksasa asal Amerika Serikat, Apple Inc., hingga saat ini masih menjadikan China sebagai pusat utama perakitan produknya, mulai dari iPhone, iPad, MacBook, hingga aksesori lainnya. Di tengah berbagai tantangan global seperti ketegangan geopolitik, pandemi COVID-19, hingga persaingan pasar yang ketat, keputusan Apple untuk tetap mengandalkan China tidak lepas dari pertimbangan strategis dan ekonomis yang sangat kompleks.
Efisiensi Biaya dan Skala Produksi Besar
Salah satu alasan utama Apple memilih China adalah efisiensi biaya produksi. Meskipun upah buruh di China terus meningkat dalam satu dekade terakhir, biaya tenaga kerja di sana masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Dengan demikian, Apple dapat memproduksi perangkat dalam jumlah besar tanpa harus menaikkan harga secara signifikan.
Selain itu, pabrik-pabrik seperti Foxconn dan Pegatron—dua mitra manufaktur utama Apple—memiliki kapasitas produksi berskala raksasa yang memungkinkan mereka mempekerjakan ratusan ribu pekerja. Pabrik-pabrik ini mampu menjalankan sistem kerja tiga shift penuh selama 24 jam, memastikan produksi tetap berjalan tanpa henti untuk memenuhi permintaan pasar global.
Meski begitu, Apple tidak sepenuhnya menutup mata terhadap risiko yang muncul dari ketergantungan terhadap China. Ketegangan perdagangan antara AS dan China, serta ancaman gangguan rantai pasokan akibat pandemi, mendorong Apple untuk mulai mendiversifikasi lokasi produksinya ke negara-negara lain seperti India dan Vietnam. Namun, proses ini masih berlangsung secara bertahap dan belum bisa menggantikan dominasi China dalam waktu dekat.
Pada 2023, Apple mulai memproduksi sebagian kecil iPhone di India melalui kerja sama dengan perusahaan Wistron dan Tata. Meski demikian, data menunjukkan bahwa lebih dari 90% iPhone dunia masih dirakit di China hingga saat ini.
(Rahman Asmardika)