Feby Novalius
, Jurnalis-Kamis, 18 Desember 2025 |07:48 WIB

Formula inflasi + pertumbuhan ekonomi × alfa 0,5–0,9 sesuai PP yang ditandatangani Prabowo. (Foto: Okezone.com)
JAKARTA - Formula kenaikan upah 2026 yang kembali mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi plus alfa dinilai tidak menjawab persoalan mendasar kesejahteraan buruh. Kebijakan ini justru berpotensi memperparah ketimpangan dan disparitas upah antarwilayah, serta semakin menjauhkan buruh dari kehidupan yang layak.
Formula inflasi + pertumbuhan ekonomi × alfa 0,5–0,9 sesuai PP yang ditandatangani Prabowo merupakan formulasi kenaikan upah yang mengabaikan realitas objektif di lapangan. Sebab, biaya hidup buruh di berbagai daerah terus meningkat tajam, mulai dari pangan, perumahan, transportasi, pendidikan, hingga kesehatan—namun kenaikan upah yang ditetapkan tidak berbasis pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang riil dan mutakhir.
Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia (KBMI) pun menilai formula tersebut mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menarasikan anak kalimat dengan mempertimbangkan bahwa jika formula tersebut tidak mampu mewujudkan Upah Layak Nasional yang bermartabat dan berkeadilan, yang tentu saja bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, maka sudah seharusnya pemerintah mengabaikan putusan tersebut dengan membuat formula baru yang lebih baik bagi kesejahteraan hidup buruh di seluruh Indonesia.
Mengutip keterangan KBMI, Kamis (18/12/2025), serikat pekerja menegaskan bahwa upah minimum tahun 2026 tidak mencerminkan kebutuhan hidup layak, melainkan hanya menjaga buruh agar tetap berada di garis bertahan hidup.
Disparitas upah antarprovinsi dan antarkabupaten/kota semakin lebar, tanpa adanya kebijakan korektif dari negara. Formula yang berlaku saat ini menjadikan upah sebagai variabel ekonomi semata, bukan sebagai hak dasar dan instrumen keadilan sosial.


















































