Disebut Generasi Pragmatis, Padahal Gen Z Punya Cara Tersendiri di Dunia Kerja. (Foto: Freepik)
JAKARTA - Gen Z kerap dituduh sebagai generasi yang tidak terlibat dalam dunia kerja. Namun, sebuah riset membuktikan sebaliknya. Gen Z dan milenial muda yang bekerja tidak secara signifikan kurang terlibat dibanding kelompok usia lain, meskipun memang menghadapi tingkat stres yang lebih tinggi.
Perbedaan mendasar Gen Z dari generasi sebelumnya adalah soal penolakan tegas terhadap cara kerja yang sudah usang dan tidak sesuai dengan era modern.
Dikutip dari studi Gallup yang dilakukan di 10 negara, Gen Z yang dijuluki “the first global generation,” menyoroti bahwa individu berusia 18-34 tahun sedang membangun kehidupan dewasa, sehingga memaksa perusahaan untuk berinovasi dan menciptakan suasana kerja yang sama sekali baru bagi mereka.
"Bekerja 15 jam sehari serta melewatkan waktu bersama keluarga bukanlah makna kesuksesan bagi Gen Z," demikian penuturan Global Vice Chair Hanne Jesca Bax, dikutip dari Fortune, Selasa (30 September 2025)
Sebanyak 51% anak muda di seluruh dunia menyatakan bahwa kesehatan mental serta fisik merupakan tolok ukur utama kesuksesan mereka di masa depan.
Sedangkan 45% menyebutkan bahwa kesuksesan adalah menjalin hubungan yang baik dengan keluarga.
Memiliki uang dan karier tetap penting bagi Gen Z, sehingga menempati peringkat 3 dan 4 dalam daftar prioritas. Bahkan, sebanyak 87% responden penelitian juga mempercayai bahwa kemandirian finansial sangat penting bagi mereka. Ini adalah bukti bahwa Gen Z tidak memprioritaskan pekerjaan di atas segalanya, melainkan bersikap pragmatis dengan menolak mengorbankan kesejahteraan pribadi demi tuntutan pekerjaan yang berlebihan.
Gen Z membuat pilihan hidup yang berani dan berbeda dibanding generasi sebelumnya, baik dari segi kebutuhan maupun keinginan. Dengan adanya perubahan sosial, kenaikan harga properti, dan harapan hidup yang lebih panjang, anak muda menunda atau bahkan melewatkan target kedewasaan global yang tradisional seperti membeli rumah, menikah, hingga memiliki anak.
Sebaliknya, Gen Z lebih memprioritaskan fleksibilitas dengan bisa melakukan apa yang mereka mau, serta menjalani kehidupan yang penuh makna. Mereka juga secara aktif mendorong perubahan dengan mengajukan pertanyaan penting mengenai dunia sebagai tempat tinggal. Pertanyaan seperti apa yang tidak berjalan dengan baik hingga mengenai kontribusi konkret mereka untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Tidak heran jika 64% responden dalam studi EY percaya bahwa sangat penting untuk mengubah hal-hal yang dianggap salah di dunia. Sementara itu, 69% menginginkan bekerja di perusahaan yang memiliki nilai yang sama dengan apa yang mereka anut. Pandangan pergantian kerja justru dipandang positif oleh Gen Z, sebagai jalan mempercepat peningkatan karier sesuai harapan mereka.
Unggul di Zaman Penggunaan AI
Faktor krusial lain yang membedakan Gen Z dengan generasi sebelumnya dalam dunia kerja adalah paparan mendalam terhadap otomatisasi Kecerdasan Buatan atau AI di awal karier. Hanne menegaskan bahwa transformasi tempat kerja yang didorong oleh AI ini menuntut karyawan Gen Z menjadi pengguna yang kompeten dalam pemanfaatannya.
Namun, sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa Gen Z merupakan kelompok yang paling tidak percaya diri dalam mengidentifikasi kekurangan penting dari AI. Oleh karena itu, Gen Z wajib menguasai cara menerapkan teknologi AI serta mengembangkan kesadaran akan risiko, termasuk ketergantungan pada AI yang berlebihan.
Revolusi AI tidak hanya sekadar menunjukkan keterampilan teknologi, tetapi justru meningkatkan pentingnya keterampilan interpersonal atau “soft skills”. Sebab, tugas manual berulang yang sering diotomatisasi membuat elemen manusiawi di tempat kerja menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Dengan begitu, kesuksesan Gen Z di tempat kerja terkait erat dengan kecakapan teknologi serta kemampuan dalam memanfaatkan hal-hal yang tidak bisa direplikasi oleh mesin, yaitu empati, rasa ingin tahu, kreativitas, berpikir kritis, hingga wawasan kontekstual.