Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung penguasa Tumapel di bawah Kerajaan Kediri. Dari pemberontakan itu akhirnya Tumapel kembali melakukan perlawanan ke Kertajaya, yang berkuasa di Daha, ibu kota Kerajaan Kediri.
Tumapel memang sebelum merdeka sendiri merupakan akuwu atau setingkat bupati di bawah kekuasaan Kediri, yang dipimpin oleh Tunggul Ametung. Tunggul Ametung dan Kertajaya konon saat itu sama-sama memiliki sifat egois dan tidak bisa diatur, serta keras kepala semaunya sendiri.
Keduanya juga memiliki kebiasaan buruk sama-sama suka merampas dan mengambil harta benda rakyatnya. Mereka kerap hidup bermewah-mewahan di istana ibu kota, di luar gubug reot menjadi tempat tinggal rakyat Tumapel.
Sifat Tunggul Ametung bahkan disebut sama dengan Kertajaya, yakni sama-sama menistakan dan menghina brahmana atau golongan pemuka agama di dalam Hindu Siwa, dikutip dari "Hitam Putih Ken Arok : Dari Kejayaan Hingga Keruntuhan". Hal ini yang memunculkan perlawanan dari rakyatnya, salah satunya Ken Arok.
Oleh karenanya, ketika Tumapel di bawah kekuasaannya jarang menyetorkan upeti ke Kediri, karena sering dirampok dan dibegal oleh kelompoknya Ken Arok. Tunggul Ametung sang penguasa Tumapel itu pun langsung mengungkit-ungkit jasanya itu.
Menurutnya, kalau hanya sekedar menghadapi perampok dan begal, sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari sejak sebelum dirinya diangkat sebagai akuwu Tumapel. Namun belakangan, pasca dirinya mengawini Ken Dedes secara paksa, orang yang merampok upetinya yang hendak dikirim ke Kediri adalah sosok yang mengaku brahmana, yang membuat Ametung dan seluruh bala tentaranya tergoncang dan diteror ketakutan.
Melihat sosok itu, Tunggul Ametung langsung berkeyakinan bahwa sosok tunggal yang merampok dirinya itu jelas seorang brahmana yang sakti, ia tentunya seorang mahasiddhi atau istilahnya pemilik kesaktian tinggi. Dari persoalan inilah kelak Tunggul Ametung mengalami krisis kepercayaan dari raja Kediri, Kertajaya.
(Khafid Mardiyansyah)