Sukabumi — Lumpur bukan sekadar sisa bencana—ia adalah saksi bisu. Ketika status darurat dicabut, bukan hanya surat yang berubah, tapi juga harapan yang diuji. Di Desa Cikahuripan, pemulihan belum sempat beranjak, namun pengumuman sudah melangkah lebih dulu.
Jaro Midun bersuara, bukan dari podium, tapi dari genangan lumpur yang belum mengering. Ia tidak bicara dengan mikrofon, melainkan dengan sepatu bot kuning dan kaus putih yang basah oleh kerja dan kekhawatiran. Kepala Desa Cikahuripan yang akrab disapa Jaro Midun berdiri memberi aba-aba kepada warga yang tengah memindahkan lumpur, sesekali menatap kantor desa yang kini menjadi posko darurat dan tempat warga menitipkan bantuan.
“Menurut saya belum membaik. Makanya kemarin waktu keputusan ini untuk tanggap daruratnya dicabut, kemauan saya itu diperpanjang, ” ujarnya pelan, menanggapi keputusan Pemerintah Kabupaten Sukabumi yang menetapkan status transisi dari darurat ke pemulihan bencana untuk Kecamatan Cisolok dan Cikakak.
Di Lapangan Belum Pulih, Warga Masih kesana kemari dan sebagaian Mengungsi
Meski status darurat telah dicabut, kondisi di lapangan jauh dari kata normal. Lumpur masih menutupi halaman rumah, akses jalan licin, dan sebagian warga masih menumpang di rumah kerabat. Ketika hujan turun, banyak yang memilih mengungsi karena takut banjir kembali.
“Malam saja dikala ada hujan hampir semua itu mengungsi ke saudara-saudaranya, semua dikosongkan. Pagi turun lagi ke sini, ” kata Midun. Sementara sebagian lainnya tetap bertahan di rumah rusak karena tidak punya pilihan lain. “Mereka memaksakan tidur di rumahnya dengan apa adanya.”
Pendataan rumah rusak pun belum dilakukan. “Belum ada pendataan rumah warga yang rusak berat, rusak sedang, dan rusak ringan itu belum ada, karena di dalam rumah itu masih ada material yang dibawa banjir dan masih banyak lumpur, ” jelasnya.
Bebragai Relawan Hadir dan Jadi Tulang Punggung
Sejak pagi, deretan motor relawan berjejer di depan kantor desa. Kaos oranye dan hijau tampak di mana-mana. Mereka membawa air bersih, sembako, dan alat kebersihan. Midun menyebut relawan serta bantuan dari Pemerintah, FPI, PKS, Dekorat, PDI, PKB, P3, PAN, NU, Relawan Sehati, BMSI, masih banyak dan komunitas lokal masih aktif membantu.
“Kalau membantu terus dilakukan oleh pemerintah jangan sampai begitu diputuskan sudah ternyata tidak ada turun kesehatan, dari DLH juga tidak ada. Pada saat ini kami mengandalkan relawan yang datang, ” katanya.
Ia menambahkan, alat berat kecil yang dibutuhkan belum juga diturunkan. “Padahal kondisinya saat ini mungkin bisa dilihat sendiri seperti apa.”
Air bersih pun masih menjadi persoalan. “Di sini mereka cuci pakaian itu masih ke sungai, terus air minum juga masih membutuhkan. Dan di sini kan malam hujan, jadi sangat membutuhkan air dikala hujan ini mereka itu tidak bisa beraktivitas, ” tutur Midun.
Aspirasi Desa Tak Tersampaikan
Midun mengungkap bahwa pemerintah desa memang hadir dalam musyawarah pencabutan status darurat. “Jadi dalam arti bukan gak dilibatkan, dilibatkan. Hadir, saya juga hadir, ” katanya.
Namun, ia menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi kepala desa untuk menyampaikan kondisi nyata di lapangan. “Cuma tidak dikasih kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya. Jadi cukup diwakilkan oleh pecamat waktu itu. Sedangkan kita tidak koordinasi dulu dengan kecamatan, ” ujarnya.
“Bahwa bagaimana keadaan di lapangan menurut para kepala desa. Tidak seperti itu. Jadi yang disampaikan oleh camat itu sesuai dengan pak camat turun ke lapangan di lokasi itu, ” lanjutnya.
“Padahal di luar lokasi itu, itu tidak terkontrol oleh pak camat. Itu yang saya sesalkan oleh para kepala desa. Kemauannya waktu ada audiens itu, waktu memutuskan itu, ” tegasnya.
Midun menyayangkan bahwa kepala desa tidak diberi kesempatan bicara. “Kasih kesempatan para kepala desa untuk menyampaikan aspirasinya. Saya kemarin menyaksikan gini, BPD menawarkan aspirasinya kerelawan. Kerelawan itu ditawari untuk menyampaikan aspirasi, ” katanya.
“Tapi kepala desa waktu itu semuanya hampir ada. Tapi tidak dikasih kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya. Kami punya etika, ” lanjutnya.
“Tidak mungkin kami menyampaikan tanpa ada suruhan atau kan disitu ada moderator. Tanpa ada instruksi dari moderator atau dari pengatur acara. Karena disitu ada Pak Wabub, ada Pak Kapores, dan ada Pak Dandim, ” jelasnya.
“Sehingga kami punya etika. Dan hasilnya begitu diputuskan, kami tidak bisa bicara apa-apa. Cuma keluhan saya waktu itu langsung disampaikan ke Pak Wabub, ” katanya.
“Kata saya Pak Wabub, ini diputuskan sesuai dengan juklak-dakjuklis, tapi jangan sampai ditinggalkan. Dengan jiwa kemanusiaannya. Ternyata paginya itu langsung mobil DLH tidak ada, kesehatan tidak ada, ” ungkapnya.
“Waktu itu ya. Sehingga saya bikin status itu, sehingga pas paginya, hari keduanya baru dia pada datang, kesehatan datang. Dan alat berat baru hari ini ada, datangnya sore, ” katanya.
“Karena saya sudah kesana kemari, saya bilang. Saya sudah negara kesana kemari, dan saya sudah ngutruk itu ke dia. Karena datang, gitu kan, ” tambahnya.
“Jadi disitu bukan tidak dilibatkan hadir, tapi tidak dikasih kesempatan untuk berbicara atau untuk menyampaikan aspirasinya. Sedangkan yang tahu di lapangan itu, hampir 100% itu semua kepala desa, ” tegas Midun.
Harapan Jaro Midun
Midun menutup pembicaraan dengan nada lelah namun penuh harap. Ia meminta agar pencabutan status darurat tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk berhenti turun ke lapangan.
“Yang kami harapkan seperti yang pertama dilakukan pemerintah pada kejadian banjir yang ada di wilayah Desa Cikahuripan. Walaupun ini dicabut, tapi kepedulian kemanusiaannya tolong dari pemerintah jangan idialis, ” katanya.
“Dikala tugas dan fungsinya, tapi kemanusiaannya tolong kerahkan kepada masyarakat untuk bisa bagaimana mereka ini cepat pulih kembali, ekonominya pulih kembali, ” tutupnya.

15 hours ago
2

















































